-->

Artikel Terbaru

Contoh Cerita Galau: "Patah Hati yang Paling Patah"

Ini mungkin bukan puisi, sebatas cerita pengalaman penulis yang mengharapkan senja kembali bertamu dengan segudang rindu yang terbawa semu.


Sang penulis yang masih mengharapkan sang pujaan hatinya kembali, namun takdir tidak menghendakinya. Maka semua hanya tinggal wacana. Hanya dapat dirasakan dalam kenangan dan berharap kesempatan lain terwujudkan.
 

“Sayang, pernah baca cerita pendek milik Seno Gumira Ajidarma? Sepotong Senja untuk Pacarku?”

Mari kita analogikan tulisan ini sebagai surat elektronik untukmu — walaupun aku tulis dan dapat dibaca umum, tapi aku akan bicara perihal kita. Ya, ini adalah surat cinta dan ini hanya untuk kamu. Bukan sok romantis, hanya saja kita sudah kehilangan ruang untuk bicara. Entah bagaimana menyebutnya, kehilangan atau dihilangkan. Kamu tentu sudah paham; kita menghilang.

Sebentar, perlu aku bertanya kabar untuk mengawali surat ini?

Sayang, bagaimana kabarmu?

Bagaimana perkembangan pentasmu? bukankah waktu pentasnya sudah dekat? semoga semuanya baik-baik saja. Aku tahu kamu adalah pria yang terencana, kamu penuh pertimbangan matang dan perihal pentas ini bukan hal yang sulit bagimu.

Bagaimana kabar Jakartamu hari ini? Apa kamu masih bisa nyanyi-nyanyi di jalan sambil mengendarai kendaraanmu? Masih seringkah bersepeda menjelang sore?

Ada yang kamu rindu dari kota kecilku? Samarinda yang sudah semrawut– katamu.

Adalah kamu dan lantai bumi, kedai kopi tempat kita bertemu pertama kalinya lagi–setelah perpisahan yang menjadi sekat bertahun-tahun. Ngomong-ngomong, apa masih boleh aku rindu?

Seperti setiap percakapan kita sebelumnya, rasanya aku juga perlu menceritakan hari-hariku bukan? Hari-hari tepatnya setelah kamu menyerah dan memilih pergi. Sayang, benar yang pernah kamu bilang, bahwa tidak ada yang berubah dengan rutinitas kita setelah ini. Aku masih berkutat dengan pensil dan target tahunanku, kamu tentu dengan duniamu — yang belum berhasil aku selami dengan penuh. Aku masih menghabiskan waktu di kamar sampai malam, jadi penulis amatiran, katamu.

Saat ini, sepulang sekolah, aku sudah terbiasa berhenti menunggu ponselku berbunyi. Berhenti menunggu kamu memberi kabar bahwa kegiatanmu selesai, menunggu ceritamu tentang hari ini, menunggu kamu meluapkan hasil observasimu tentang dunia, menunggu kamu bilang “Aku juga rindu!” kemudian memberikan ciuman selamat tidur sebagai akhir dari percakapan kita. Aku sudah memilih berhenti menunggu kamu, Sayang.

“Sayang, pernah baca cerita pendek milik Seno Gumira Ajidarma? Sepotong Senja untuk Pacarku?”

Apa kamu ingat pertanyaanku saat itu?

“Belum” jawabmu. Aku berniat menceritakan cerita itu padamu, tapi sayangnya kamu menunjukan keengganan saat itu. Belum saatnya, pikirku.

Tapi kini kita sudah kehilangan ‘nanti’.

Sayang, cerita ini begitu romantis. Sukab, sang tokoh mencuri sepotong senja untuk pacarnya. Bukan hanya senja yang ia curi! Melainkan “lengkap dengan bau laut, desir angin dan suara hempasan ombak. Ada juga kepak burung-burung dan lambaian pohon-pohon nyiur…” Ia merelakan semesta kehilangan, sementara ia jadi sosok yang diburu karena mencuri pemandangan paling menakjubkan itu.

Cinta membuatnya begitu nekat, sayang.

Sukab menceritakan perjalanannya mencuri senja dengan sangat berani, tanpa ada rasa takut sedikitpun padahal polisi mencari-carinya di mana-mana. Jelas sekali, yang terpatri dalam benaknya hanya satu; memastikan senja yang ia curi itu utuh tiba di tangan kekasihnya, Alina, dan tentu ia yakin Alina akan senang mendapatkan hadiah potongan cakrawala nan indah itu. Tapi aku tidak akan ikut mengutuknya karena memilih mencuri senja untuk seorang wanita, aku justru iri dengan wanita itu, sayang. Ia tidak perlu banyak kata-kata untuk menjelaskan betapa ia mencintai wanita itu. Beruntungkah dia?

Aku jadi teringat, saat pertama kali mendaki. Aku dibuat-Nya takjub berkali-kali, Sayang. Kami summit dini hari, dan alam malam hari itu indahnya bukan main. Lampu-lampu rumah penduduk menghilangkan kesan garang dari alam dan malam. Matahari terbit juga tak kalah menakjubkan dari senja yang digadang-gadang banyak penyajak itu, sayang. Sungguh, yang terpikirkan olehku saat itu hanya satu, semua paket ini diberikan Tuhan lengkap sekali jika ada kamu!

Aku tidak ingin terlalu syahdu — seperti Sukab, berfikir untuk memotong cakrawala sebesar kartu pos dan mencurinya. Aku hanya ingin kita menikmati hal seperti itu bersama, mungkin nanti di lain hari. Kamu tahu Sayang? Aku mulai mengerti, mencintai sejadi-jadinya ternyata rasanya begini. Tak heran Sukab benar-benar nekat.

Sepuluh tahun kemudian, Seno Gumira Ajidarma menulis kembali cerita pendek berisi surat balasan dari Alina untuk Sukab berjudul “Jawaban Alina.”

Surat itu membuatku sedih, Sayang. Ternyata senja yang dikirimkan Sukab sedemikian rupa untuk Alina, baru tiba setelah sepuluh tahun kemudian. Dan yang paling menyedihkan adalah senja — hadiah paling romantis itu menjadi bencana luar biasa yang menenggelamkan dunia. Alina yang disayang-sayang, tidak lain adalah perempuan yang setelah sepuluh tahun kemudian sudah berbahagia dengan suami dan anaknya — bukan Sukab dan bukan pula buah hati mereka.

“….sekali lagi, aku tidak mencintai kamu. Kalau toh aku kelihatan baik selama ini padamu, terus terang harus aku katakan sekarang, sebetulnya aku cuma kasihan. Terus terang aku kasihan sama kamu Sukab, mencintai begitu rupa tapi tidak tahu yang kamu cintai sebetulnya tidak mencintai kamu. Makanya jangan terlalu banyak berkhayal Sukab, pakai otak dong sedikit, hanya dengan begitu kamu akan selamat dari perasaan cintamu yang tolol itu…”

Sepenggal cuplikan Jawaban Alina.

Kamu tahu apa akhirnya dari cerita ini Sayang? dunia berakhir begitu saja hanya karena cinta yang ternyata bertepuk sebelah tangan. Sungguh, betapa ironinya cerita ini, Sayang. Akhir kutipan jawaban Alina menyentilku, mengingatkan aku pada perasaanku yang juga sama tololnya dengan perasaan milik Sukab.

Sayang, aku juga tidak tahu apakah kamu juga mencintaiku?

Toh perihal kita sama ironinya dengan cerita ini. Cerita pendek yang aku suka ini tak ubahnya hanya cerita cinta tragis, Sayang. Pilihanmu begitu tepat untuk tidak mendengarkan cerita ini saat itu.

Kamu, Alina sayang, dan Aku, Sukab yang malang.

Apa cerita pendek milik Seno Gumira Ajidarma ini adalah representasi dari kita?

Aku akan mengakhiri surat ini dengan begitu banyak tanda tanya. Adalah hakmu untuk memilih bungkam atau menjawabnya. Yang tidak perlu kamu khawatir adalah baik kamu menjawab ataupun tidak, toh tidak akan merubah apa-apa; kita akan tetap pada kita yang seperti ini. Kita tidak akan berjalan beriringan lagi Sayang, tenang, kamu akan tetap pada rutinitasmu, begitu juga aku dengan rutinitasku; mencintaimu.

Selamat tinggal perihal Jakarta dan deretan wacana kita.

Samarinda, Mei 2019

by Kayla Aziza Shafiqa Nazara


Bersambung...


Baca Juga:

Mau puisi atau karya sastra kamu di tampilkan di situs ini? Silakan kirim karya kamu dengan klik >> KIRIM KARYAMU. Tulisan tentang Contoh Cerita Galau: "Patah Hati yang Paling Patah" ini, mudah-mudahan bisa memberi inspirasi bagi kamu semua.
loading...

0 Response to "Contoh Cerita Galau: "Patah Hati yang Paling Patah""

Post a Comment

Silakan komentar dengan sopan dan beretika. Komentar yang mengandung SARA, spam, hate speech, akan dihapus.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close